KARAWANG | DETIKKARAWANG.COM | Ditengah semarak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2025 yang digelar Pemerintah Kabupaten Karawang dengan aksi simbolis penanaman mangrove di Kecamatan Tirtajaya, ironi besar justru mengemuka di pusat kota. Saat Bupati Karawang bersama jajaran Muspida dan kepala desa sibuk menanam bibit mangrove demi menjaga ekosistem pesisir, sebuah perusahaan besar di Karawang Kota diduga dengan leluasa membuang limbah industri ke Sungai Citarum—sungai yang selama ini menjadi perhatian nasional dalam program “Citarum Harum”.
Ironi ini kian mencolok karena program “Citarum Harum” yang dicanangkan pemerintah pusat dan daerah telah menelan anggaran besar, baik dari APBD maupun APBN. Namun, efeknya seolah tak terasa ketika pengawasan terhadap pelaku pencemaran masih lemah dan tak berdaya di hadapan korporasi.
Di Mana Tegaknya Aturan?
Padahal, regulasi sudah jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tegas bahwa:
Pasal 98 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar.
Pasal 104: Setiap orang yang membuang limbah tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mewajibkan setiap pelaku usaha memiliki dokumen lingkungan dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang sesuai standar.
Namun faktanya, tindakan nyata untuk menindak perusahaan pelanggar nyaris tak terlihat. Publik bertanya-tanya, apakah perusahaan tersebut terlalu kuat untuk disentuh hukum? Atau justru ada pembiaran yang sistematis di balik layar?
Citarum: Harum di Atas Kertas, Busuk di Lapangan
Program Citarum Harum yang diluncurkan sejak 2018 bertujuan mengembalikan kejayaan Sungai Citarum sebagai sumber air bersih strategis nasional. Karawang sebagai salah satu kabupaten yang dilalui Citarum memiliki tanggung jawab besar dalam program ini. Namun ketika realitas menunjukkan adanya pembiaran terhadap pencemaran oleh korporasi, maka komitmen itu patut dipertanyakan.
Apa gunanya menanam ribuan mangrove di pesisir jika di hulu atau tengah aliran, air tercemar limbah berbahaya? Apa maknanya menggelar seremoni besar yang menghabiskan anggaran daerah, jika di saat yang sama pengawasan terhadap industri hanya sebatas formalitas?
Mendesak Tindakan Tegas
Masyarakat menuntut transparansi. Pemerintah daerah, khususnya DLHK Karawang, harus segera mengungkap siapa perusahaan pelaku pembuangan limbah tersebut dan menindaklanjuti pelanggaran secara terbuka. DPRD Karawang pun diminta aktif memanggil perusahaan-perusahaan pencemar untuk rapat dengar pendapat dan mendorong penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tegas kepada pedagang kaki lima atau pelanggar kecil, tapi juga berani menghadapi korporasi besar yang merusak lingkungan dan masa depan warga.
Penulis : Syuhada Wisastra. Praktisi General Affair dan Lingkungan juga Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia Karawang.